PAHALAWAN
Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil
Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta,
21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu
Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan
anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan
dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mempunyai anak Kartika..
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli
1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung
dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap
Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian
dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung
Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang
disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia
yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang
kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau
berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun
bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika
di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang
menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat
Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari
Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma
Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu
Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.
Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap
dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan
maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela
pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili
sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan
menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali
Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad
al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam).
Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji
oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’
allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah
salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai
dasar bagi kaum beriman).
Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab
soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno,
“Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci
Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang
mayoritas Muslim itu.
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya
untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja
habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung
Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri
ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga
dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin
merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si
pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara
benar?
Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed
(1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak?
Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim,
Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu
dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh
dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The
Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari
perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi
penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk
menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis
sebagai bidah”.
Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang
didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas
bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan
keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir
dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama
dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno
mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan
anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya
pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung
konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak
anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan”
demi “revolusi”.
Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan
politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat
sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai
parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai
Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih
dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan
sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang
dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh
perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional
terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI,
PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik
karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan
daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar Negara
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar Negara
Teori dan praksis
Dari teori-teori filsafat dan politik serta acuan-acuan historis
yang digunakan dalam mengurai sila-sila Pancasila, tampak pengetahuan Soekarno
amat luas dan dalam. Dalam uraian-uraiannya, tidak jarang ia menyitir pikiran
Renan, Confusius, Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia seolah ingin menunjukkan
dan memberi contoh, tiap warga negara perlu terus memperluas pengetahuannya.
Meski ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang teknik, namun amat akrab
dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah, politik, dan agama.
Dalam salah satu kuliahnya Bung Karno menyinggung kembali
pertemuan dan dialognya dengan petani miskin Marhaen. Dialog sendiri sudah
berlangsung jauh sebelumnya, tetapi ia masih mampu mengingat dan menggambarkan
amat jelas. Ini menandakan, Soekarno menaruh perhatian pada perjumpaannya
dengan wong cilik, rakyat jelata, dan ingin menjadikannya sebagai titik tolak
perjuangan bersama guna membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan
dan ketidakadilan. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak disertai
perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong kosong.
Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia tak suka hanya berkutat
di dunia teori, tetapi juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari
bangsanya. Bung Karno selalu berupaya keras mempertemukan “buku” dengan “bumi,”
menatapkan teori-teori sosial-politik dengan realitas keseharian manusia
Indonesia yang sedang ia perjuangkan.
Bung Karno terus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan
aksi. Mungkin inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin lain,
baik yang sezamannya maupun sesudahnya.
Perlu diingat, lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan
uraian dan gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang Soekarno: ia bukan
seorang pejabat yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka menduduki
posisi-posisi tertentu di pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau
menumpuk kekayaan untuk diri sendiri.
Perjuangan Soekarno adalah perjuangan tulus, yang disegani bahkan
oleh orang-orang yang tak sepaham dengannya. Karena itu, tak mengherankan
betapapun ruwetnya ekonomi Indonesia di bawah pemerintahaannya, tak terlihat
kecenderungan pejabat-pejabat pemerintah di zaman itu yang tanpa malu korupsi
atau berkongkalikong menjual sumber-sumber alam milik rakyat.
Absennya guru-guru lain
Bagaimanapun juga, sebagai seorang manusia Bung Karno bukan tanpa
kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, misalnya, ia tampak
“menikmati” posisinya sehingga ada kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai
seorang pelayan publik dalam tata masyarakat demokratis. Sebagai presiden
seharusnya ia menyadari kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat sejauh
rakyat memberi mandat padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan tertentu.
Rupanya Bung Karno tidak terlalu menghiraukan hal itu. Karenanya
ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak.
Sebagai seorang guru yang memandang negerinya sebagai sebuah
“ruang kuliah” raksasa dan rekan-rekan sebangsanya sebagai “murid-murid” yang
patuh, terkesan Bung Karno tak memerlukan adanya “guru-guru” lain. Ia tak
keberatan akan keberadaan mereka, tetapi-sadar atau tidak-”gaya mengajar”-nya
mendorong tokoh-tokoh lain yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa
terpaksa menyingkir atau tersingkir.
Kita belum lupa ketika pada 1 Desember 1956 Bung Hatta
mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga masih ingat bagaimana
orang-orang dekat Bung Karno-seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Moh
Natsir, dan lainnya-satu per satu menjauh darinya.
Pada pertengahan 1950-an rupanya perhatian Bung Karno yang begitu
besar kepada posisinya sendiri membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang
Dingin telah kian jauh merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan
pemilu daerah tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian
dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.
Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut kemenangan itu dengan
gembira karena menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia. Di lain pihak,
bagi AS dan sekutunya, kemenangan itu meningkatkan ketakutan mereka bahwa
Indonesia akan “lepas” dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori
domino, lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan
Barat di Asia Tenggara.
Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Tahun
1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara PKI dan
unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat. Bung Karno sadar, tetapi terlambat.
Dengan gemetar ia terpaksa menyaksikan ratusan ribu rakyat yang ia cintai
dibantai secara terencana dan brutal. Sedikit demi sedikit ia dijepit. Akhirnya
guru bangsa yang besar ini disingkirkan dari panggung kekuasaan. Ia pun wafat
sebagai seorang tahanan politik yang miskin, di negeri yang kemerdekaannya
dengan gigih ia perjuangkan.
Akhir hidup Bung Karno memang memilukan. Tetapi ajaran-ajarannya
sebagai guru bangsa tetap relevan dan penting untuk negara-bangsa ini. Orang
dapat belajar tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari tindakan,
berikut keunggulan dan kelemahannya. Kita berharap kaum muda negeri ini tak
jemu untuk terus belajar dari sejarah, termasuk dari Bung Karno sebagai guru
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar